 |
foto:www.weddingku.com |
“ Walau hanya tinggal sebatas lorong – lorong kecil yang licin dihiasi batu – batu kecil, tanpa temaram dimalam hari, tiada gemerlapan lampu mobil dijalan, dan tiada gemericik air yang mengalir. Yang ada hanya pohon – pohon kering keronta tanpa daun yang jatuh berguguran, mereka selalu diam membisu seribu bahasa menjadi saksi bisu kehidupanku ”.
Tak terasa mentari pagi menyilaukan mata, kau bangunkan aku dari tidur indahku, kulirik arloji disampingku , menunjukkan pukul 06.30, waktunya menyusuri lorong kecil yang sempit ditengah kerumunan rumah tua nan reot tertutup kardus dan tumpukan plastik – plastik bekas. Jalan licin yang dihiasi batu kerikil mengitari desaku.
Desaku tepat disamping gudang penyimpanan sampah bekas menggunung berkelok dan berliku mengelilingi pematang sawah yang sudah mati, menyampuri udara sejuk dipagi hari dengan bau busuk kurang enak untuk dinikmati dalam hati serta menusuk ruas rusuk ini. Tapi entah mengapa tubuh ini terasa terpatri, di desa penuh kubangan lumpur derita. Setiap kali kupaksakan untuk berjalan, seolah – olah tubuh ini bergetar hebat, bulu kuduk berdiri, embun dipagi hari pun mengikuti menampakkan ketakutannya.
Angin yang berhembus mengitariku semakin membuatku terlena dalam buaian angan dan lamunan, entah kapan ku mulai, keringat dinginpun bercucuran membasahi lekuk tubuh ini. Tanpa sadar suara bising itu hanyut dalam gendang telingaku, bibir ini terkunci rapat tanpa bersuara, mata ini enggan berpaling dari gudang yang penuh barang bekas ini. Semakin lama aku berdiri semakin keras suara itu teriak – teriak ditelingaku hingga membuyarkan lamunanku.
Jantung ini berdetak kencang, ditemani rasa penasaran tinggi, entah setan apa yang berbisik ditelinga menganjurkan untuk menutup mata dan meninggalkannya. Namun, kulirik kanan kiri, depan belakang tiada segelintir orang melihatnya, padahal ketakutanku semakin menggelayuti, kupenjarakan ketakutanku danku ayunkan langkah ini untuk mendekatinya.
Dalam kesendirianku, dibawah pohon jati yang telah gugur daun dan kurus batangnya, diiringi hujan yang rintiknya jatuh bersamaan menciptakan nada – nada, agar pagi itu tak lagi sunyi. Tanpa sadar mata ini melirik gadis manis berambut panjang dan bewarna pirang, dengan senyum tipis dan ayunan langkah yang melambai berada tepat disampingku, “siapa namamu” Tanyanya padaku, “ Fais” jawabku, ia ikut berteduh di gubuk tua menanti hujan reda, yang baruku tahu namanya Riani, anak kepala desa tempatku tinggal.
Tubuh ini seolah hanyut dan tenggelam dalam buaian asmara yang datang, mengiringi dinginnya air hujan, mata ini enggan berkedik menatapnya saatku tau senyum itu ditujukan kepadaku, tanpa sadar berdiri terpaku, lamunanku terhentak saat kakiku digigit semut, dan hujan telah menyingsing meninggalkanku, tanpa sadar kuberjalan sambil melamun dan entah apa yang terjadi aku tak tau, mata ini terasa gelap, dan berkunang – kunang.
***
Pagi itu aku bangun kesiangan, ada yang mendenyut – denyut dikepalaku. Biji palakia setahuku sudah merembesi kulit, sekarang sedang menumbuhkan akar dikepalaku dan merubahku menjadi pohon.
Riani berkali – kali mengompres kepalaku dengan es dan air cuka, sehingga baunya meracuni udara, ku amati lamat – lamat wajah itu “ sungguh perhatian gadis ini” gumamku dalam hati. “ kamu tadi pingsan dijalan” bisiknya padaku. Dengan kepala masih pening, ku coba berdiri dan berjalan walaupun masih terhuyung – huyung menahan beratnya badan ini, ku dibantu riani mencoba keluar ruangan mencari udara segar dipagi hari sambil duduk dikursi anyaman rotan yang sudah lusuh dimakan usia. “ aku pulang dulu ya is” katanya masih ku ingat sebelum mata ini terpejam kembali.
Tak terasa hari ini pun telah usai, aku berjalan menyusuri lorong kecil itu sambil menyusuri gudang sampah yang selalu gelap, berdebu, kumuh dan penuh decit tikus dikala malam menyelimuti desa, ku mencari ketenangan jiwa dimalam hari. Badan ini terasa mati saat mendengar suara dari dalam gudang yang ku lewati, darah ini seolah – olah berhenti dan bibir ini terasa terkunci. Tanpa suara kucoba langkahkan kedua kaki ini beriringan, namun saja tetap tidak bisa jalan.
Sesampainya dirumah, kurebahkan tubuh ini pada sebilah kursi anyaman rotan didepan teras rumah yang sudah reot dan dikelilingi kerajaan rayap termakan usia , sekali terhentak maka robohlah sudah. Sejauh mata memandang mataku selalu tertuju pada semua rumah kumuh, tua nan reot, berdebu dengan tumpukan sampah – sampah didepanku. Rumput – rumput kering keronta, tanpa tau hidup atau mati dalam menghasilkan oksigen. Ribuan lalat bertebangan mengitari gunungan itu, plasting berhamburan, tikus – tikus yang berdecitan dan kumpulan katak bersuara riang menimbulkan nyinyian penghibur diwaktu malam.
Mata ini seolah – olah malas, hati ini tersa sepi untuk memandang lorong – lorong kecil penuh dengan kecoa dan tikut mencari makan ditengah kerumunan lalu lalang orang berjalan, mereka sibuk mencari apa saja yang mampu menghasilkan uang, dengan keranjang – keranjang kecil dipunggung mereka. Dihatiku , segala sumpah serapah dan umpatan datang dari berbagai penjuru, mengutukmu penguasa sebagai otoritas tertinggi Negara.
***
Matahari masih menyembunyikan urat kemaluannya, suara bising orang melangkah kalang kabut, menyambut datangnya sampah yang datang dari kota seberang. Walau memang hanya tempat singgah sampah, tapi tubuh ini puas melihat senyum semburat yang keluar dari bibir mereka, dan aku bersyukur dapat hidup dilingkungan mereka.
Walau hanya tinggal sebatas lorong – lorong kecil yang licin dihiasi batu – batu kecil, tanpa temaram dimalam hari, tiada gemerlapan lampu mobil dijalan, dan tiada gemericik air mengalir. Yang ada hanya pohon – pohon kering keronta tanpa daun jatuh berguguran, mereka selalu diam membisu seribu bahasa menjadi saksi bisu kehidupanku.
Tanpa sadar Riani gadis manis itu, sudah berdiri dianganku. Mengamati lamat – lamat setiap inci gerak – gerik langkahku, menelanjangi semua yang ada pada diriku, menepuk bahuku, meraih tangan ini seraya berkata “aku cinta padamu” selalu terngiang ditelingaku.
Seekor nyamuk telah membuyarkan lamunanku, sejak tadi memandang nan jauh disana dengan mata kosong, diatas kursi anyaman rotan yang sudah tua dimakan usia. Riani gadis manis itu selalu melayang – laying dipelupuk mata, menari – nari dalam angan tanpa berani kuucapkan kata suka. Bibir ini seolah terkunci dan jantung ini seolah berhenti dikala berada disisimu.
Biarkanlah itu semua hanya menjadi sejarah nostalgia dalam romantisme cinta di hati. Biarkan rasa ini menyusuri lorong kecil yang kumuh, dikelilingi gunungan sampah tuk singgah di negeri tak bertuan ini.