Gus Yusuf Ajak Santri Gunakan Gadget Sebagai Alat Jihad

Pengasuh Ponpes Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang KH M Yusuf Chudlori atau Gus Yusuf saat menjadi narasumber acara Seminar Bincang Media Santri oleh RMI PWNU Jateng di rumah dinas Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah Sarif Abdillah di Semarang Tengah, Kota Semarang, Selasa (21/10/2025).
Pengasuh Ponpes Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang KH M Yusuf Chudlori atau Gus Yusuf saat menjadi narasumber acara Seminar Bincang Media Santri oleh RMI PWNU Jateng di rumah dinas Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah Sarif Abdillah di Semarang Tengah, Kota Semarang, Selasa (21/10/2025).

Semarang, Reaksi Nasional — Pengasuh Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang, KH M. Yusuf Chudlori atau yang akrab disapa Gus Yusuf, mengajak para untuk memanfaatkan gadget sebagai alat jihad di era digital.

Hal itu disampaikan Gus Yusuf saat menjadi narasumber dalam Seminar Bincang Media Santri bertema “Membangun Peran Santri dalam Era Dunia Digital” yang digelar oleh Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) Jawa Tengah di rumah dinas Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah Sarif Abdillah, Semarang Tengah, Selasa (21/10/2025).

“Kalau dulu jihad dengan pedang atau senjata, sekarang gadget bisa digunakan sebagai alat untuk menegaskan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah,” ujar Gus Yusuf di hadapan puluhan santri peserta seminar.

Santri Diminta Jadi Pejuang Media

Dalam kesempatan tersebut, Gus Yusuf menegaskan bahwa santri harus menjadi benteng pesantren dan kiai, terutama dalam menghadapi framing negatif di media. Ia menyoroti tayangan di salah satu stasiun televisi yang dianggap telah membangun persepsi keliru terhadap dunia pesantren.

“Kita harus terus menjelaskan tanpa henti, karena itu butuh pejihad-pejihad media,” katanya.

Menurutnya, menjelaskan pesantren kepada yang belum memahami masih bisa dilakukan. Namun, kepada pihak yang memang tidak menyukai pesantren, tugas itu jauh lebih berat.

“Menjelaskan kepada yang tidak suka pesantren itu seperti menjelaskan indahnya pelangi kepada orang yang buta,” ujarnya.

Gus Yusuf menegaskan, upaya klarifikasi dan edukasi publik tidak boleh berhenti karena kebenaran pun bisa dianggap salah jika diframing secara keliru.

Pesantren Butuh Kritik, Tapi Tak Layak Difitnah

Gus Yusuf juga mengingatkan bahwa pesantren tetap terbuka terhadap kritik, terutama dalam hal kebersihan dan kesehatan lingkungan. Namun, ia menyesalkan adanya tayangan televisi yang menampilkan KH Anwar Manshur (Mbah War), pengasuh Ponpes Lirboyo, dengan framing negatif seolah-olah kiai menjadi kaya karena menerima amplop.

“Itu framing yang jahat. Saya tahu betul, saat saya nyantri di Lirboyo tahun 1985, Mbah War menjemur gabah setelah ngaji, mengurusi pabrik tahu dan es batu. Minggu lalu saya sowan, rumahnya juga masih sama, tidak berubah,” kata Gus Yusuf.

Jelaskan Makna “Roan” di Dunia Pesantren

Gus Yusuf juga meluruskan kesalahpahaman publik soal aktivitas roan di pesantren, yakni kerja bakti atau gotong royong yang dilakukan santri.

“Roan itu bukan kerja paksa, tapi tabarukan mencari berkah. Santri senang karena kegiatan mengaji libur dan dapat makan bergizi. Biasanya hanya sebulan sekali,” jelasnya.

Tradisi roan, menurutnya, justru mendidik santri agar aktif, peduli, dan tidak jumud. Selain itu, santri juga bisa belajar meniru keteladanan kiai dalam berwirausaha dan mandiri setelah lulus dari pesantren.

“Mosok santri hanya tengak-tenguk di kamar saat ada kerja bakti,” tambahnya.

Santri Harus Melek Media

Sementara itu, Koordinator Bidang Media RMI PWNU Jawa Tengah, Ahmad Fahrurrozi, mengatakan kegiatan Bincang Media Santri dan Pelatihan Media Santri diselenggarakan untuk menyambut Hari Santri Nasional (HSN) 2025.

Acara ini diikuti oleh 65 santri dari pondok pesantren di wilayah Semarang Raya serta perwakilan media RMI NU se-Jawa Tengah.

“Ini kegiatan pembuka untuk wilayah Semarang Raya. Setelah ini, pelatihan akan berlanjut di lima karesidenan lain di Jawa Tengah, dan Pak Sarif Abdillah siap membersamai kita,” kata Fahrurrozi.

Ia berharap santri dapat melek media dan mampu memproduksi konten positif untuk mengangkat citra pesantren di ruang digital.

“Belakangan ada framing negatif terhadap pesantren. Karena itu, santri harus bisa membuat konten positif dan menyampaikan nilai-nilai pesantren kepada masyarakat luas,” pungkasnya.