Era baru kebijakan fiskal Indonesia telah resmi dimulai. Di bawah komando Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 disahkan dengan paradigma yang berbeda secara fundamental dari pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati. Meninggalkan pendekatan disiplin fiskal yang hati-hati, Purbaya menggebrak dengan cetak biru yang lebih ekspansif, menargetkan pertumbuhan ekonomi ambisius di angka 8% per tahun. Langkah ini menandai pergeseran besar dalam cara negara mengelola keuangannya, dengan fokus utama pada akselerasi pertumbuhan.
Revolusi “Dua Mesin Ekonomi”: Sinergi Fiskal dan Moneter yang Hilang
Salah satu gagasan paling revolusioner yang dibawa Purbaya adalah konsep “dua mesin ekonomi”, sebuah strategi yang menuntut sinergi optimal antara kebijakan fiskal (pemerintah) dan kebijakan moneter (bank sentral). Konsep ini lahir dari kritiknya terhadap pendekatan masa lalu yang menurutnya seringkali tidak sinkron, sehingga menimbulkan tekanan berkepanjangan pada perekonomian nasional.
Dalam debutnya di hadapan Komisi XI DPR, Purbaya tidak ragu melontarkan pernyataan tajam. “Demonstrasi yang terjadi sebelumnya merupakan akibat dari kesalahan kebijakan fiskal dan moneter sendiri yang sebetulnya kita kuasai,” tegasnya. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah sinyal kuat akan komitmennya untuk merombak total koordinasi antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia demi satu tujuan: pertumbuhan.
APBN 2026: Anggaran Ekspansif untuk Stimulus Maksimal
Struktur APBN 2026 menjadi bukti nyata dari perubahan paradigma ini. Dengan pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp3.153,58 triliun dan belanja negara mencapai Rp3.842,73 triliun, defisit anggaran melebar ke level 2,68% dari PDB, atau setara dengan Rp689,15 triliun. Angka ini lebih tinggi dari rancangan era Sri Mulyani yang berada di 2,48%.
Purbaya berargumen bahwa pelebaran defisit ini adalah langkah yang disengaja dan terukur. “Angka defisit yang masih di bawah 3% dari PDB masih dalam kategori sangat prudent. Ini memberikan kita ruang fiskal yang cukup untuk mengakselerasi pertumbuhan,” jelasnya. Fleksibilitas ini akan digunakan untuk menyuntikkan stimulus yang lebih kuat ke dalam perekonomian.
Delapan Agenda Prioritas: Fondasi Pembangunan Berkelanjutan
APBN 2026 dirancang untuk mengeksekusi delapan agenda prioritas yang menjadi tulang punggung visi pembangunan pemerintahan baru. Alokasi anggaran yang masif menunjukkan skala prioritas yang jelas:
- Ketahanan Pangan (Rp164,7 Triliun): Fokus utama untuk mencapai swasembada pangan, menstabilkan harga, dan secara bertahap mengurangi ketergantungan pada impor yang rentan terhadap gejolak global.
- Ketahanan Energi (Rp402,4 Triliun): Alokasi terbesar yang mencerminkan urgensi transisi ke energi baru terbarukan (EBT) sekaligus menjaga stabilitas pasokan energi nasional.
- Program Makan Bergizi Gratis (Rp335 Triliun): Program andalan pemerintahan Prabowo Subianto yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) sejak dini, sebagai investasi jangka panjang bangsa.
- Pendidikan (Rp769,1 Triliun): Mencetak rekor sebagai alokasi anggaran pendidikan terbesar dalam sejarah Indonesia, diarahkan untuk transformasi kurikulum, peningkatan kualitas guru, dan infrastruktur pendidikan.
- Kesehatan (Rp244 Triliun): Memperkuat sistem kesehatan nasional, belajar dari pengalaman pandemi untuk membangun resiliensi terhadap krisis kesehatan di masa depan.
- Pembangunan Desa, Koperasi, dan UMKM: Menggerakkan ekonomi dari akar rumput, mengurangi kesenjangan antara kota dan desa, serta memperkuat pilar ekonomi kerakyatan.
- Pertahanan Semesta: Modernisasi alutsista dan penguatan sistem pertahanan untuk menjaga kedaulatan dan keamanan nasional di tengah dinamika geopolitik yang menantang.
- Akselerasi Investasi dan Perdagangan: Memangkas birokrasi dan menciptakan iklim usaha yang lebih kompetitif untuk menarik investasi domestik maupun asing.
DNA Sumitronomics dalam Kebijakan Fiskal Purbaya
Di balik angka-angka APBN 2026, Purbaya mengadopsi filosofi Sumitronomics, yang terinspirasi dari pemikiran ekonom legendaris Sumitro Djojohadikusumo. Terdapat tiga pilar utama yang menjadi landasannya:
- Pertumbuhan Ekonomi Tinggi: Menjadikan pertumbuhan sebagai prioritas utama, dengan target 8% sebagai sasaran yang harus dicapai melalui stimulus fiskal yang efektif.
- Pemerataan Manfaat: Memastikan kue pembangunan tidak hanya dinikmati oleh segelintir kalangan, tetapi dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat hingga ke tingkat bawah.
- Stabilitas Nasional yang Dinamis: Menjaga stabilitas bukan dengan cara mengerem laju ekonomi, melainkan dengan memperkuat fondasi fundamental seperti pangan, energi, dan keamanan.
Strategi Injeksi Likuiditas: “Memaksa” Uang Bekerja
Untuk menggerakkan roda ekonomi, Purbaya menyiapkan dua strategi injeksi likuiditas yang inovatif:
- Mobilisasi Dana Pemda yang Mengendap: Purbaya menyoroti adanya Rp233,11 triliun dana pemerintah daerah yang “tidur” di perbankan. Rencananya adalah menarik dana ini untuk dioptimalkan dalam proyek-proyek produktif. Langkah ini secara efektif “memaksa” sistem perbankan untuk menyalurkan dana tersebut sebagai kredit ke sektor riil, alih-alih hanya diparkir dalam instrumen aman seperti Surat Berharga Negara (SBN).
- Pemindahan Dana dari Bank Indonesia: Kebijakan lain yang disiapkan adalah memindahkan Rp200 triliun dari rekening pemerintah di Bank Indonesia ke sistem perbankan komersial. Tujuannya adalah untuk mengatasi “kekeringan likuiditas” dan mendorong bank lebih agresif dalam menyalurkan kredit usaha.
Respons Pasar: Antara Optimisme dan Kewaspadaan
Pelaku pasar finansial merespons pergeseran kebijakan ini dengan campuran antara optimisme dan kewaspadaan. Rully Arya Wisnubroto, Chief Economist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, menilai bahwa mandat dari presiden sudah sangat jelas: mempercepat pertumbuhan ekonomi hingga 8%.
Pasar optimis bahwa pendekatan pro-growth ini akan membuka keran investasi dan konsumsi yang lebih besar. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran terkait risiko pelebaran defisit, potensi tekanan terhadap nilai tukar Rupiah, dan ancaman inflasi jika stimulus yang digelontorkan tidak terserap secara produktif.
Purbaya sadar betul akan risiko ini. Ia berulang kali menegaskan bahwa APBN 2026 dirancang untuk menciptakan keseimbangan antara stimulus dan kehati-hatian (prudential fiscal management) demi menjaga kepercayaan investor.
Tantangan di Depan: Mewujudkan Ambisi di Tengah Ketidakpastian
Jalan Purbaya Yudhi Sadewa untuk mewujudkan target 8% tidak akan mulus. Keberhasilan strateginya sangat bergantung pada eksekusi yang sempurna, efektivitas penyerapan anggaran, dan yang terpenting, harmoni yang solid antara kebijakan fiskal dan moneter.
Namun, era Purbaya juga membuka peluang emas bagi Indonesia. Dengan memobilisasi seluruh potensi domestik dan merancang kebijakan yang berani, Indonesia memiliki kesempatan untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah dan melesat menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan. Revolusi fiskal ini adalah pertaruhan besar, namun jika berhasil, akan menjadi fondasi kokoh bagi terwujudnya visi Indonesia Emas 2045.